Ekspor
produk perikanan Indonesia pada kuartal pertama tahun 2013 sudah
menyentuh angka USD$ 3,9 milyar. Nilai ekspor ini berjalan parallel
dengan perbaikan pengendalian mutu dan keamanan pangan atau food safety,
yang terus dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Keamanan pangan, tidak bisa ditawar. Bahan tambahan formalin, borak
atau mercury sekecil apapun akan menggagalkan produk perikanan masuk ke
pasar". Demikian dikatakan Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Achmad Poernomo, di Jakarta
(6/09).
Ketentuan
keamanan pangan atau food safety merupakan syarat mutlak bagi setiap
produk perikanan yang akan masuk pasar ekspor. Setiap negara sangat
ketat pada ketentuan penerapan keamanan pangannya. Bahkan, mereka
berbeda menerapkan ketentuan berdasarkan Risk Assessment (RA) masing masing negara. Risk Assessment
merupakan proses penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi resiko
atau bahaya yang mungkin terjadi pada produk perikanan. “Upaya
pengendalian mutu harus dibarengi dengan risk assessment. Untuk
produk perikanan, kendatipun harga RA mahal, tetapi tetap harus
dilakukan. Assessment bisa semakin kuat, bisa menopang pengendalian mutu
dan keamanan pangan,” tegasnya.
Untuk meminimalkan biaya risk assessment, bisa dilakukan kerjasama antar berbagai instansi dan institusi terkait. Untuk produk perikanan, risk assessment bisa dilakukan dengan asosiasi, perguruan tinggi serta lembaga yang berkompeten seperti Kementerian Perindustrian dan Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) serta para stakeholder perikanan. Para Stakeholder ini bisa
saling kerjasama untuk memperkuat komitmen di dalam negeri. Bahkan
stekeholder bisa melakukan pendekatan ke importir untuk penguatan citra
produk perikanan ke luar negeri. "Risk assessment harus dibarengi dengan
survey. Termasuk pemeriksaan terhadap masing-masing orang. Apalagi
setiap orang akan berbeda kekuatannya dalam menerima bahan kimia
misalnya. Prosedur seperti ini sudah dilakukan oleh BPOM dan ITB dalam
melakukan riset keamanan pangan,” jelasnya.
KKP
sendiri menurut Achmad Poernomo sudah memiliki alat pendeteksi bahan
berbahaya yang terdapat pada produk perikanan. Untuk mendeteksi formalin
atau borak, kini konsumen tidak perlu lama menunggu hasil laboratorium.
KKP telah menciptakan Kit Antilin, sebagai alat pendeteksi kandungan
bahan berbahaya yang terdapat pada ikan. Kit Antilin ini cukup mudah
penggunaannya serta hasilnya cepat untuk diketahui. Bahkan KKP sudah
mengembangkan bahan tambahan atau pengawet produk perikanan yang aman
untuk dikonsumsi. “Sebenarnya kualitas ikan masih bisa dinegosiasikan,
misalnya warna tidak apa-apa. Namun untuk kandungan bahan berbahaya demi
keamanan pangan, tidak bisa ditolerir,” katanya.
Diversifikasi Produk
Menurut
Ahmad Poernomo, produk ekspor perikanan paling banyak didominasi adalah
komoditi udang dan tuna. Kemudian menyusul produk rumput laut kering.
Untuk lebih kompetitif di pasar ekspor, perlu dilakukan diversifikasi
produk olahan. Terutama produk olahan yang bisa masuk ke pasar-pasar
retail pack. Bahkan produk ke retail pack harus diperbanyak, karena
produk ini bisa langsung dipasarkan di super market yang kini jumlahnya
terus meningkat. “Diversifikasi olahan ikan untuk luar negeri memang
harus diperbanyak jenisnya. Apalagi, kini trend pasar lebih banyak
menyukai produk siap saji dan dikemas secara cantik, praktis dalam
bentuk tas menarik. Contoh produk seperti ini banyak kita jumpai dipasar
luar negeri,” ujarnya.
Saat
ini produk perikanan olahan masih bertumpu pada udang. Dari segi
volume, produk udang olahan masih besar. Kemudian disusul kelompok
tuna, rajungan dan kepiting. Patin, sementara hanya untuk memenuhi
kebutuhan pasar dalam negeri, jadi tidak perlu impor, karena produk
patin terus berkembang. Dari semua produk ekspor, sebagian besar dalam
bentuk frozen, karena relatif lebih mudah dilakukan dan tahan lama.
Sedangkan pasar terbesar masih didominasi Amerika dengan nilai USD$ 1,2
milyar per tahun. Kedua, Jepang USD$ 800 juta dan yang ketiga Uni Eropa
(27 negara) dengan nilai USD$ 400-500 juta.
No comments:
Post a Comment