
Mengawali sambutannya, Menteri Susi mengapresiasi berbagai capaian yang telah berhasil ditoreh Satgas 115 yang merupakan sinergi KKP, Bakamla, TNI Angkatan Laut, Kepolisian Perairan (Polair), dan Kejaksaan Agung dalam lima tahun terakhir. Tak hanya keberhasilan, Satgas 115 pun menemui berbagai tantangan dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, Menteri Susi menyebut, dalam Rakornas selama 3 hari ini, Satgas 115 harus memahami bahwa penegakan hukum IUU fishing tak bisa dilihat sekadar sebagai pencurian ikan saja.
“Banyak sisi dari illegal fishing ini yang sebetulnya bisa mengancam beberapa hal lain, baik keamanan, stabilitas, maupun pertumbuhan ekonomi kita,” tuturnya.

“Di lapangan, baik penyidik lapangan maupun the first hand yang menangkap, yang menyidik, kemudian yang melakukan investigasi, juga sampai kepada tuntutan, kita tidak boleh lagi normatif atau biasa. Karena kalau keputusan yang kita buat normatif, maka akan banyak keputusan yang akhirnya kita hanya dapat kapalnya saja,” jelas Menteri Susi.
Lebih mengkhawatirkan lagi, dengan lobi yang kuat dari para pelaku IUU fishing, bisa saja kapal yang diputus untuk disita negara akhirnya dilelang. Hal ini menurutnya membuka kembali celah bagi para pelaku kejahatan perikanan untuk memiliki kembali kapal-kapal mereka untuk dioperasikan lagi.
“Terbukti dari beberapa penangkapan yang kita lakukan, kita menangkap lagi kapal-kapal residivis, kapal-kapal yang sudah kita tangkap 6 bulan lalu atau 1 tahun sebelumnya. (Mereka) melaut lagi, mencuri ikan lagi dengan ABK Vietnam atau Myanmar atau Kamboja yang sama di kapal itu yang sudah kita bebaskan atau kita deportasi. Kalau seperti ini diteruskan, apakah kita kurang kerjaan?” lanjut Menteri Susi.

Menteri Susi berpendapat, multidoor approach penanganan kejahatan perikanan ini sudah harus dimulai sejak awal penangkapan dan penyidikan. Semua unsur Satgas 115 harus memastikan ini terjadi. Bahkan bila perlu didukung dengan MoU antara KKP dengan kepolisian. “Kita pakai pendekatan TPPU dimulai dengan melibatkan Reskrim,” ujarnya.
“Kejaksaan juga melihatnya jangan hanya dari sisi kejahatan perikanan. Kita wajib sudah menyentuh kepada kejahatan umum. Ada apa di balik ini? Kita pakai semua kemungkinan kejahatan kemanusiaan dan kejahatan keuangannya, finansialnya,” lanjutnya.
Sejak dibentuk, Satgas 115 telah menenggelamkan 516 kapal. Namun yang bisa ditahan hanya nakhoda dan master engineering-nya. Sedangkan beneficial owner-nya belum dapat dimintai pertanggungjawaban. “Keberhasilan yang begitu hebat namun menyimpan ironi yang sangat dalam,” Menteri Susi menyayangkan.
Menteri Susi meminta setiap instansi di bawah naungan Satgas 115 untuk mampu bereksplorasi, memperluas, dan menggali ketentuan hukum yang dapat dijeratkan terhadap pelaku IUU fishing agar bisa dihukum seberat-beratnya.
“Jangan kita hanya melakukan penuntutan dan penyidikan normatif. Para pelaku ini tidak melihat hal-hal normatif. Mereka akan stretch apa yang mungkin. Setiap lubang, loop hole hukum kita akan mereka pakai. Tapi kita yang memiliki kedaulatan, yang memiliki sumber daya ini, justru malah membatasi diri kita dengan ketentuan-ketentuan yang kita buat, yang sebetulnya untuk menaklukan para penjahat ini,” jelasnya.

"Tambang, minyak, semua sudah terkonsesi. Yang masih bisa diakses oleh rakyat pada umumnya adalah sumber daya alam di laut, di sungai, di danau. Mereka, nelayan-nelayan kecil, harus bisa terus mengakses sumber daya ini,” katanya. Hal ini sesuai dengan amanah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, di mana seluruh sumber daya alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Ia mengatakan, tugas Apgakumlah memastikan akses tersebut terus ada bagi masyarakat. Sumber daya tersebut juga harus dijaga terus produktif dengan mengentaskan segala kegiatan perikanan ilegal dan pengrusakan menuju tata cara perikanan berkelanjutan. Salah satunya dengan menghindari penggunaan portas, trawl, atau pun cantrang dalam kegiatan penangkapan ikan. “Bukan kita Ingin menutup akses bagi nelayan trawl dan lain lain, bukan. Yang kita stop adalah alat tangkapnya, bukan pemiliknya untuk mengakses sumber daya laut. Gantilah alat tangkapnya,” tegasnya.
Sama halnya dengan pemilik kapal ilegal yang tidak pernah tersentuh, supplier portas dan bom untuk penangkapan ikan juga tidak bisa diungkap. Maka, selama supplier dan pengusaha ikan hidup yang banyak menggunakan destructive fishing ini tidak disentuh, ia meyakini selama itu pula akan terjadi perusakan diam-diam seluruh coral reefs (terumbu karang) Indonesia.
Jika pemerintah mampu meyakinkan masyarakat terhadap pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab, ia meyakini sektor perikanan Indonesia akan tumbuh subur. Namun masing-masing daerah tentunya harus dengan gigih melakukan konservasi pembatasan dengan aturan-aturan desa/daerahnya sendiri.
"Ada desa kecil di Demak yang dengan gigih menjaga dan membatasi desanya dari alat tangkap yang merusak ini. Kita harus tahu nilai rajungan yang bisa mereka ekspor mencapai triliunan rupiah per tahun, keuntungan bagi masyarakat. Tapi berapa desa yang punya keberanian seperti itu? Harusnya kita menjadi trigger, menjadi pelindung, supaya lebih banyak desa yang bisa berdaya seperti itu."

“Supply itu mestinya digantikan oleh ikan- milik perusahaan Indonesia. Namun ini juga PR untuk Karantina, jangan sampai kejadian 2001-2004 terulang kembali. Pada saat udang dari 7 negara itu di kenakan import tariff sampai 100%, 70% oleh Amerika, Indonesia cuma 12%, yang dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah memberikan dokumen untuk mengatasnamakan barang Cina itu, barang Thailand itu, barang Vietnam itu, product of Indonesia. Ada kesempatan malah bukan dipakai untuk meningkatkan produksi pertambakan udang kita, namun mengambil jalan pintas jualan dokumen saja. Akhirnya Amerika tahu pun marah. Mereka mengancam akan embargo udang Indonesia,” kenangnya.
“Karantina dan tentunya Polair bisa membantu dalam rangka memastikan pengamanan. Jangan sampai ada impor tuna loin dari Cina untuk dire-ekspor dari Indonesia. Ya sama saja bohong,” imbuhnya.

“Terima kasih saya ucapkan atas semua kerja sama, kerja keras, koordinasi, dan effort yang Bapak Ibu semua lakukan dalam mendukung kerja Satgas 115,” tutupnya.
Sementara itu, Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Satgas 115, Wuspo Lukito melaporkan, penyelenggaraan Rakornas Satgas 115 telah berjalan dengan lancar disertai dengan diskusi yang dinamis dan kondusif dalam rangka menemukan alternatif solusi atas permasalahan-permasalahan di lapangan.
“Paparan dan informasi yang diberikan oleh pembicara kunci serta narasumber akan menjadi acuan bagi unsur-unsur Satgas 115 dalam meningkatkan kinerja di lapangan dalam pemberantasan IUU fishing,” pungkasnya.

Lilly Aprilya Pregiwati
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri
No comments:
Post a Comment